KAKI dua
pria tua melangkah gontai menyusuri trotoar sebelah barat Alun-Alun Magetan.
Terik matahari menjelang dzuhur membuat keduanya menyeringai serta merapatkan
kelopak matanya.
Di depan
keduanya, berjalan seorang perempuan paro baya dengan dandanan cukup menor
ditambah balutan kebaya warna biru serta jarit abu-abu. Selendang warna merah
yang menggantung di lehernya berkibaran diterpa angin.
Kedua pria
itu berjalan beriringan. Yang satu menggendong kendang di bahu sebelah kanan.
Tangan kirinya menenteng bumbung bambu yang panjangnya sekitar setengah meter.
Sesekali, ia
membetulkan letak topi warna hitam kesayangannya. Baju warna kuning yang
dikenakan tampak mencolok siang itu. Di sampingnya, tampak pria yang tubuhnya
lebih kecil dan ringkih.
Mengenakan
baju warna abu-abu dan topi pramuka, ia menjinjing siter di tangan kanannya.
Langkah keduanya mengikuti “sang putri” yang berjalan di depan.
Tak lama
berselang, ketiganya berhenti di warung depan kantor DPRD Magetan. Wanita yang
mengenakan kebaya itu duduk bersimpuh di atas kursi pendek yang lantas diikuti
kedua pria. Mereka adalah pemain musik cokekan yang keliling dari desa ke desa.
Usai
mengucapkan salam, kendang yang ditenteng Bagyo langsung ditabuh. Dentum bunyi
kendang langsung diiringi nada yang keluar dari petikan jari Midin, pemain
siter.
Tanpa
dikomando, pada saat nada kendang dan siter berpadu pada nada tertentu,
lantunan tembang Pepeling keluar dari bibir Sarmi. “Wis wancine, padha
dielingke… (sudah waktunya untuk diingatkan)”.
Begitulah
ketiganya memulai aksinya bermain musik cokekan. Pada nada-nada tertentu, Bagyo
yang menabuh kendang mendekatkan mulutnya pada bumbung bambu disandarkan pada
kakinya lantas meniupnya keras, bummm…layaknya suara gong.
Usai
menyanyikan tembang Pepeling, Sarmi, 75, warga Desa-Kecamatan Kasreman,
Kabupaten Ngawi, yang kedapuk sebagai vokalis, terdiam sejenak. Ia lantas
menawari beberapa warga yang duduk di warung dengan pilihan beberapa tembang. “Minta
lagu apa Mas,” katanya centil.
Sarmi, yang
sekaligus sebagai pembawa acara itu dengan sikap genit meminta warga yang duduk
di dipan warung ini meminta lagu. Wajah keriputnya ditutupi bedak cukup tebal.
Tapi, gurat kecantikannya masih begitu jelas kentara. Ia juga centil. “Mangga
tho mas…” rayunya.
Usai
melantunkan langgam jawa, Sri Huning, Sarmi mengaku telah keliling tiga
kelurahan. Yakni, Tawanganom, Selosari dan Mangkujayan. Hanya saja, dari ketiga
kelurahan itu mereka baru mendapatkan uang kurang lebih Rp 25 ribu. Padahal,
uang tersebut nantinya dibagi bertiga.
Dari
pengakuannya, ia menggeluti seni Cokekan sejak 10 tahun lalu. Sebelumnya, di
Ngawi, ia gabung dengan kelompok seni kerawaitan. Lantaran usianya yang terus
bertambah, ia jarang diajak saat kelompok tersebut pentas.
Akhirnya, ia
bergabung dengan Bagyo dan Midin yang sudah terjun lebih lama di dunia cokekan.
Biasanya, pukul 05.00, Sarmi berangkat dari Ngawi. “Terus pukul tujuh bersama
rombongan mulai muter,” katanya.
Pernyataan
serupa dilontarkan Midin, 70, warga Desa Tinap Kecamatan Sukomoro. Menurut dia,
di rumahnya ada sekitar tujuh kelompok musik Cokekan. Mereka semua memiliki
kelompok yang rata-rata terdiri tiga orang. Yakni, penyanyi, kendang dan siter.
“Sudah sejak kecil saya keliling seperti ini,” kata kakek empat cucu itu dengan
bangga.
Mereka
bertiga mengaku membentuk kelompok sejak tahun 1998 lalu. Midin sendiri, mulai
membeli siter bekas dan memperbaikinya sejak tahun 1988. Sebaliknya, Bagyo yang
bertugas menabuh kendang mengaku membeli kendang pada tahun 1968 saat orang
tuanya masih hidup. Kendang tua tersebut dulunya dibeli seharga Rp 25. “Biar
jelek, tapi telah menjadi sumber urip (mata pencaharian) keluarga,” ujarnya.
Saat sepi
seperti hari itu, Bagyo mengaku hanya mendapat bagian sekitar Rp 10 ribu.
Namun, jika ramai, bisa mendapat bagian hingga Rp 50 ribu. “Tidak semua uang
hasil tanggapan dibagi. Sebagian dipotong untuk makan dan uang jalan,”
tambahnya.
Meski
begitu, ketiganya mengaku senang bermain Cokekan. Selain menjadi mata
pencaharian, ketiganya mengaku senang bisa bermain musik. “Hobi kami ini
gamelan, jadi seneng sekali main meski bayarannya hanya seribu atau dua ribu,”
kata Midin sambil tertawa.