Kembang Lambe Kembang Lambe Admin
Title: Cokekan, Asli Magetan
Author: Kembang Lambe
Rating 5 dari 5 Des:
  Kembang   Lambe,  Seni Cokekan seringkali dipandang sebelah mata. Selain pemainnya yang sudah tua, alat musiknya juga seadanya. Namun, sen...

 


Kembang Lambe, Seni Cokekan seringkali dipandang sebelah mata. Selain pemainnya yang sudah tua, alat musiknya juga seadanya. Namun, seni tradisional itu hingga kini masih terus bertahan di Magetan. inilah kisah seorang pelaku seni cokekan di Magetan dengan narasi cerita

KAKI dua pria tua melangkah gontai menyusuri trotoar sebelah barat Alun-Alun Magetan. Terik matahari menjelang dzuhur membuat keduanya menyeringai serta merapatkan kelopak matanya.

Di depan keduanya, berjalan seorang perempuan paro baya dengan dandanan cukup menor ditambah balutan kebaya warna biru serta jarit abu-abu. Selendang warna merah yang menggantung di lehernya berkibaran diterpa angin.

Kedua pria itu berjalan beriringan. Yang satu menggendong kendang di bahu sebelah kanan. Tangan kirinya menenteng bumbung bambu yang panjangnya sekitar setengah meter.

Sesekali, ia membetulkan letak topi warna hitam kesayangannya. Baju warna kuning yang dikenakan tampak mencolok siang itu. Di sampingnya, tampak pria yang tubuhnya lebih kecil dan ringkih.

Mengenakan baju warna abu-abu dan topi pramuka, ia menjinjing siter di tangan kanannya. Langkah keduanya mengikuti “sang putri” yang berjalan di depan.

Tak lama berselang, ketiganya berhenti di warung depan kantor DPRD Magetan. Wanita yang mengenakan kebaya itu duduk bersimpuh di atas kursi pendek yang lantas diikuti kedua pria. Mereka adalah pemain musik cokekan yang keliling dari desa ke desa.

Usai mengucapkan salam, kendang yang ditenteng Bagyo langsung ditabuh. Dentum bunyi kendang langsung diiringi nada yang keluar dari petikan jari Midin, pemain siter.

Tanpa dikomando, pada saat nada kendang dan siter berpadu pada nada tertentu, lantunan tembang Pepeling keluar dari bibir Sarmi. “Wis wancine, padha dielingke… (sudah waktunya untuk diingatkan)”.

Begitulah ketiganya memulai aksinya bermain musik cokekan. Pada nada-nada tertentu, Bagyo yang menabuh kendang mendekatkan mulutnya pada bumbung bambu disandarkan pada kakinya lantas meniupnya keras, bummm…layaknya suara gong.

Usai menyanyikan tembang Pepeling, Sarmi, 75, warga Desa-Kecamatan Kasreman, Kabupaten Ngawi, yang kedapuk sebagai vokalis, terdiam sejenak. Ia lantas menawari beberapa warga yang duduk di warung dengan pilihan beberapa tembang. “Minta lagu apa Mas,” katanya centil.

Sarmi, yang sekaligus sebagai pembawa acara itu dengan sikap genit meminta warga yang duduk di dipan warung ini meminta lagu. Wajah keriputnya ditutupi bedak cukup tebal. Tapi, gurat kecantikannya masih begitu jelas kentara. Ia juga centil. “Mangga tho mas…” rayunya.

Usai melantunkan langgam jawa, Sri Huning, Sarmi mengaku telah keliling tiga kelurahan. Yakni, Tawanganom, Selosari dan Mangkujayan. Hanya saja, dari ketiga kelurahan itu mereka baru mendapatkan uang kurang lebih Rp 25 ribu. Padahal, uang tersebut nantinya dibagi bertiga.

Dari pengakuannya, ia menggeluti seni Cokekan sejak 10 tahun lalu. Sebelumnya, di Ngawi, ia gabung dengan kelompok seni kerawaitan. Lantaran usianya yang terus bertambah, ia jarang diajak saat kelompok tersebut pentas.

Akhirnya, ia bergabung dengan Bagyo dan Midin yang sudah terjun lebih lama di dunia cokekan. Biasanya, pukul 05.00, Sarmi berangkat dari Ngawi. “Terus pukul tujuh bersama rombongan mulai muter,” katanya.

Pernyataan serupa dilontarkan Midin, 70, warga Desa Tinap Kecamatan Sukomoro. Menurut dia, di rumahnya ada sekitar tujuh kelompok musik Cokekan. Mereka semua memiliki kelompok yang rata-rata terdiri tiga orang. Yakni, penyanyi, kendang dan siter. “Sudah sejak kecil saya keliling seperti ini,” kata kakek empat cucu itu dengan bangga.

Mereka bertiga mengaku membentuk kelompok sejak tahun 1998 lalu. Midin sendiri, mulai membeli siter bekas dan memperbaikinya sejak tahun 1988. Sebaliknya, Bagyo yang bertugas menabuh kendang mengaku membeli kendang pada tahun 1968 saat orang tuanya masih hidup. Kendang tua tersebut dulunya dibeli seharga Rp 25. “Biar jelek, tapi telah menjadi sumber urip (mata pencaharian) keluarga,” ujarnya.

Saat sepi seperti hari itu, Bagyo mengaku hanya mendapat bagian sekitar Rp 10 ribu. Namun, jika ramai, bisa mendapat bagian hingga Rp 50 ribu. “Tidak semua uang hasil tanggapan dibagi. Sebagian dipotong untuk makan dan uang jalan,” tambahnya.

Meski begitu, ketiganya mengaku senang bermain Cokekan. Selain menjadi mata pencaharian, ketiganya mengaku senang bisa bermain musik. “Hobi kami ini gamelan, jadi seneng sekali main meski bayarannya hanya seribu atau dua ribu,” kata Midin sambil tertawa. 


Tentang KL

Space Iklan

 
Ke Beranda